“Aku melihatmu berdiri disana. Kamu melihat sekeliling tanpa peduli. Aku berpura-pura kamu memperhatikanku. Aku melihat matamu dan apa yang kamu lihat.”
***
Saat itu istirahat pertama, dan kami di kantin. Aku dan temanku, Emma. Dia, dan temannya. Detik itu, dia melihatku. Aku membuat senyum palsu agar dia tidak hanya melihatku, tetapi juga menatapku. Semua yang aku mau, dan aku butuhkan. Dan segala yang bisa kita lakukan.
“Nia.” Tuhan, dia tahu namaku.
“Hai, Rio.” Dan aku pun tersenyum. Senyum asli. Bukan palsu.
***
Entah, semenjak hari itu, aku dan Rio jadi semakin akrab. Pernah suatu saat, dia mengajakku keluar. Aku menolak. Ini terlalu cepat.
Bagiku, saat bersamanya benar-benar indah. Dia berbicara, dan aku tertawa. Tentu saja itu lucu. Sungguh, aku bahkan tidak bisa benar-benar melihat siapapun, saat dia bersamaku. Saat aku berjalan di sampingnya, aku tidak bisa bernapas. Bisakah dia katakan itu pada dunia?
Hingga suatu hari, dia mengaku bahwa dia sedang mencintai seseorang. Oh, mungkinkah aku? Tidak. Kita baru kenal, walau memang kita sudah terlihat sangat akrab.
“Ah, Nia. Kau tahu, aku benar-benar mencintainya. Dia cantik. Sangat cantik. Dan saat mata kita bertemu, oh. Bahkan aku tidak bisa mengatakannya. Apa kau pikir aku sudah gila? Mencintai seseorang hingga begitu dalamnya.”
“Menurutku, kau tidak gila. Ayolah, Rio. Tidak hanya kau, orang satu-satunya di dunia ini yang sedang jatuh cinta.”
“Lalu, apakah kau termasuk ke dalam orang-orangku?” Tidak. Tidak bisa ku katakan kepadanya bahwa aku sedang jatuh cinta. Bagaimana bisa? Dialah yang ku cintai.
“Tidak.”
Menyedihkan. Dia selalu bercerita kepadaku tentang gadis yang dia suka. Dia bilang, dia terlalu mencintainya. Dia akhirnya yakin, bahwa dia benar-benar mencintainya. Aku bertanya-tanya, apa dia tahu dia adalah orang yang selalu ku pikirkan semalaman?
***
“Nia!” Merasa namaku dipanggil, aku menoleh. Rio.
“Ada apa?”
“Aku mendengarnya bernyanyi. Suaranya bagus, Nia! Dan lagi, dia cantik. Perpaduan yang sangat sempurna, bukan?”
Ya, aku tahu. Dari ceritanya aku tahu bahwa gadis itu sangatlah cantik. Dan gadis itu mendapat segala yang tidak aku punya di hidup ini. Penantianku ini sia-sia. Tapi aku tumbuh terlalu kuat.
Seharusnya gadis itu mendekapnya, memberikan segala cintanya. Lihatlah mata Rio. Indah. Seharusnya gadis itu tahu, bahwa dia beruntung. Karena, aku mecintai Rio.
Karena aku bukanlah putri, dan ini bukanlah cerita dongeng. Ini hanya kota kecil, dengan aku, sebagai pemeran utama dalam kisahku. Dan dalam kisahku, aku punya banyak harapan dan impian. Bahagia selamanya.
Aku pulang ke rumah. Mengendarai sendiri mobilku. Dan mematikan segala cahaya di hidupku. Kutaruh foto Rio. Mungkin ini saatnya aku mendapatkan beberapa waktu untuk tidur.
***
Tolong katakan padaku, siapa yang menghancurkan segalanya? Tidak. Gadis itu tidak menghancurkan segalanya. Dan lagipula, apakah aku pantas jika aku bertanya pada Rio, siapa gadis yang dia maksud selama ini? Siapa aku? Sahabat? Entahlah. Hubungan ini rumit. Kita dekat dan akrab, tetapi aku mencintainya. Dan dia? Mencintai gadis lain. Begini rasanya cinta bertepuk sebelah tangan. Menyakitkan, sungguh.
Lalu, aku siapa Rio? Teman? Sungguh, aku tidak berharap untuk diangggap sebagai orang yang lebih dari sahabat. Tapi aku sangat berharap dianggap sebagai orang yang lebih dari teman. Karena aku yakin, kita tidak hanya berteman.
Aku senang saat dia bersamaku. Aku ingin tetap berada disana, di sampingnya, di saat itu, berulang kali. Tapi itu tidak pernah cukup. Lalu dia harus pergi. Dan dia pergi. Semacam sebuah kejahatan kecil yang aku berharap aku bisa melakukannya.
Dia satu-satunya alasan aku tetap memohon kepada bintang. Memohon agar suatu saat dia benar-benar melihatku. Melihatku bahwa aku selalu mencintainya, dan bahwa dia satu-satunya orang yang cukup meremukkan hatiku. Aku hanyalah pemimpi, bahkan sampai sekarang. Sampai sekarang dia membiarkan aku jatuh.
Dan dia, satu-satunya yang aku butuhkan saat aku terjatuh.
***
“Kamu sendirian?” Rio mengagetkanku saat aku sedang makan di kantin.
“Seperti yang kamu lihat.”
“Boleh aku gabung?”, tanpa aku jawab, dia langsung duduk dan berkata lagi, “dia disini.”
“Disini? Siapa?”
“Dia –yang selama ini aku sukai.”
“Apa? Yang mana?” Bodoh. Seharusnya aku tidak menanyakan itu. Hanya akan membuatku sakit.
“Kau kenal dengannya.” Apa? Dia bilang aku kenal dengan gadis itu? Baik, aku akan memandang sekeliling dan pasti akan menemukan banyak sosok yang aku kenal. Benar, bukan? Dan aku menemukan sosok yang sangat aku kenal.
“Emma!”, teriakku, tanpa mempedulikan suasana yang sedang terjadi, “sini!”
Emma langsung menghampiriku dan berkata,
“Aku mencarimu, Nia.”
“Ada apa?”
“Pelajaran setelah ini kosong, dan aku meminta bantuanmu untuk mengantarkanku ke toko buku. Mau, kan?” Aku tersenyum dan mengangguk, dan dia melanjutkan. “Aku ambil tas dulu.”
Setelah Emma pergi, aku sadar akan sesuatu. Rio. Dia-diam-saja. Menunduk, dan mematung. Lalu hanya sepersekian detik, firasatku memburuk.
“Ada yang salah, Rio?”
“Memanggil dirinya kesini.” Muka Rio merah, dan matanya yang bening itu berbinar. Tuhan, dia mencintai sahabatku…
***
Adalah dia. Satu-satunya alasan yang membuatku menangis.